Rumah Hantu
Cerita ini dimulai semenjak kepindahanku bersama ibu dan dua kakak perempuanku, karena ayahku sudah tiada
10 tahun yang lalu, dari kota Semarang ke Solo. Sebelumnya aku
bersama Kak Rania terlebih dahulu mencari rumah kontrakan untuk tempat
tinggal sementara sambil mencari rumah baru yang bisa kami beli.
Setelah berkeliling Kota Solo, berikut mencari informasi dari kerabat
dan teman-teman yang tinggal di Solo, kami menemukan sebuah rumah yang
melebihi harapan kami.
Rumah itu asri dan indah sekaligus bersih. Pintu dan jendela pun
lebar dan luas, bercat putih dan berlantai dua. Ada juga taman dan
patung anak kecil di dalam rumah, dilengkapi dengan garasi
mobil.
Pokoknya melebihi
harapan dan cukuplah buat kami berempat tinggal disini, terlebih
harga kontrakannya terbilang murah. Akhirnya kami memutuskan mengontrak
rumah ini, sambil mencari rumah lain yang bisa kami beli nantinya.
Andai kelak pemiliknya berniat menjual, mau juga kami membelinya asalkan harganya cocok.
Satu hari, dua hari … Sampai satu bulan lebih tidak terjadi apa-apa.
Kami merasa nyaman tinggal di rumah ini. Namun ketika mendekati bulan ke
dua aku mengalami kejadian-kejadian yang aneh yang di luar akal
pikiran. Awalnya aku hanya sering bermimpi buruk. Aku juga pernah
mengalami tindihan, seolah ada bayangan besar dan hitam yang
menindihku. Dengan napas terengah-engah aku berusaha bangun sambil
membaca doa-doa yang aku ingat. Syukurlah aku bisa terbangun. Kejadian
semacam ini sering terulang.
Mulanya aku menganggap hanya mimpi biasa. Menurut orang Jawa tindihan terjadi akibat salah posisi saat tidur. Namun
semakin lama aku merasakan ada yang tidak beres dengan rumah
kontrakan ini. Pernah aku lihat, walau di siang hari, sekelebat bayangan
anak laki laki kecil berpakaian putih lusuh dan kotor, seperti pakaian
anak anak jalanan. Wujudnya seperti anak anak biasa lainnya suka
berlari-lari dan suka mengintip malu-malu.
Ketika hal itu aku ceritakan kepada yang lain, ternyata mereka juga
sering mengalami hal-hal yang aneh. Kak Nita pernah marahmarah karena
pintu yang sudah digerendhel, dibuka kembali, digerendhel lagi terbuka
lagi, begitu seterusnya. Kak Nita mengira salah satu adiknya yang mengerjainya.
Ia kemudian ke kamar kami, namun semua kamar tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda diantara adiknya yang masih
bangun. Spontan Kak Nita merinding. Apalagi dia merasa ada bayangan hitam yang mengikutinya. Buru-buru Kak Nita
membangunkan ibu dan menumpang tidur bersama ibu. Semenjak kejadian
tersebut, kami memutuskan satu kamar dipakai buat dua orang, aku bersama
ibu, Kak Nita dengan Kak Rania.
Seperti biasa pagi itu aku bersantai di dalam kamar sambil membaca baca buku. Di rumah juga ada Kak Nita dan
Kak Nita yang sedang sibuk menyiapkan masakan di ruang dapur belakang. Tetapi aku merasa dibelakangku berkelebat bayangan.
Aku kira itu bayangan kakakku yang tengah mondar- mandir dari ruang makan ke dapur. Jadi akau tidak terlalu
hirau. Setelah berjalan beberapa saat aku memutuskan bergabung dengan
Kak Nita. Saat itu aku mengira lauk yang sedari tadi aku tunggu sudah
matang.
“Kak, aku lapar. Sudah mateng belum masakannya? Aku bantu ya?“ selorohku sambil merangkul badan Kak Nita yang
sedang duduk di depan meja makan dari belakang.
Kak Nita diam saja dan tersenyum. Aku merasa agak aneh dengan tabiat
kakakku yang satu ini. Biasanya dia suka bawel dan sering marah-marah
ketimbang tersenyum.
Banyak kemudian pertanyaanku yang dijawab hanya dengan seulas senyum
tapi tak satu patah katapun keluar dari mulutnya. Tumben Kak Nita lembut
sekali, kataku dalam hati. Tetapi aku juga tidak begitu perhatian sih.
Soalnya kadang, dia juga suka ngerjai aku. Jadi mungkin saja saat ini
dia sengaja mengerjaiku.
Tiba-tiba aku merasa seperti ada yang menyuruhku pergi. Aku pun
ngeloyor ke lantai atas sambil membawa novel yang akan aku baca sambil
menunggu masakan kakak.
Sesampai di lantai atas aku buka pintu kamar hendak mengambil. Namun
ketika aku balik badan keluar dari kamar, kok ada seseorang sedang duduk
membelakangiku didekat jendela ruangan lantai atas. Lho kok ada
Kak Nita di sini? “Sedang apa Kak? Emang masaknya sudah selesai?” tegurku.
“Rona, ngapain kamu nanya-nanya segala?!” sahut Kak Nita dengan suara kesal.
”Tadi kan Kakak masak di lantai bawah?“ tanyaku lagi tanpa menghiraukan rasa kesalnya.
“Dari tadi aku baca koran di sini, cari iklan rumah yang mau dijual.
Biar ibu saja yang masak, nanti aku menyusul,”jawab Kak Nita.
Waduhh, jadi yang tadi aku rangkul siapa? tanyaku dalam hati. Rasa takut tiba-tiba menyergapku sampai wajahku pucat.
“Ada apa, Rona? Mengapa wajahmu jadi pucat begitu?“ tanya Kak Nita sambil memegang tanganku. “Lho, tanganmu juga
dingin begini. Ada apa?“
Akhirnya aku ceritakan yang aku lakukan di lantai bawah tadi. Kak
Nita ikut bergidik mendengar ceritaku. Padahal Kak Nita terkenal paling
berani di antara kami. Kami lantas menceritakan pengalaman ini ke ibu,
tapi ibu bilang agar kami tidak usah takut.
“Selama iman kita kepada Allah SWT kuat kita pasti dilindungi olehNya,” kata Ibu.
Sejak kejadian itu kami sekeluarga jadi tambah giat bersembahyang dan tidak pernah lupa berdoa sebelum tidur.
Namun kejadian demi kejadian masih sering bermunculan seperti yang
dialami Kak Rania, kakak keduaku. Ketika berada dalam rumah, dia merasa
ada yang mengikutinya dimanapun dia pergi. Sebenarnya dia enggan
menceritakan ke kami karena tidak ingin membuat seisi rumah ketakutan.
Namun karena aku sudah membukanya, Kak Rania pun menceritakan kisah yang
dialaminya.
Menurut Kak Rania, saat itu sudah lewat tengah malam, sekitar pukul
01.00 WIB. Kak Rania hendak menunaikan sholat malam seperti yang biasa
dia lakukan waktu di rumah kami yang lama. Namun kali ini ia lakukan
karena berbagai peristiwa ganjil yang dialaminya. Dia segera
membangunkan ibu untuk menemaninya sholat malam.
Pernah juga waktu ibu kehilangan kunci lemari yang menyuruh kami
semua anak-anaknya untuk semua menolong mencari dimana kunci itu. Tapi
tetap tidak ketemu. Baru keesokan harinya kunci itu tergeletak di lantai
atas yang mudah untuk di lihat. Padahal kemarin kami juga sudah mencari
ke tempat ini dan sama sekali tidak ada. Menurut itu gerendel atau
pintu kamar dalam, juga sering terbuka sendiri waktu malam. Namun ibu
tidak pernah mau menceritakan kejadian-kejadian aneh tersebut kalau kami
tidak memintanya.
Kejadian demi kejadian ganjil terus berlanjut sampai empat bulan kami
tinggal di rumah itu. Lama-kelamaan kami merasa sudah semakin terbiasa
dengan kejadian aneh dan ganjil tersebut dan berusaha menerimanya dengan
tabah dan tawakal.
Ada juga tetangga yang menasehati kami untuk pindah saja dari rumah itu. Ada juga yang menawari untuk mengusir
hantu-hantu itu di rumah kami. Tetapi ibu menolaknya karena yakin
selama keluarga kami tidak berbuat yang dilarang Tuhan dan selalu
berdoa, maka makhluk-makhluk gaib itu juga akan segan kepada kami.
Sebagai sama-sama hamba ciptaan Tuhan yang tinggal di muka bumi ini,
sepantasnyalah untuk tidak saling mengganggu satu sama
lain.
Prinsip inilah yang ditekankan ibu kepada kami dalam menyikapi kejadian-kejadian aneh di rumah kami.
“Kita hidup di dunia yang sama tapi dengan alam yang berbeda. Satu di
alam fana atau alam nyata dan yang satu di alam halus atau alam gaib,
jadi seharusnya tidak saling mengganggu satu sama lain,” kata Ibu.
Benar juga, setelah adanya “saling pengertian” itu, kejadian aneh di rumah kami mulai berkurang. Kami sekeluarga pun
mengucapkan syukur kepada Tuhan karena bisa melewati cobaan ini.
Sekarang kami sekeluarga sudah pindah dari rumah itu. Kami membeli
rumah bekas dari orang yang pindah ke kota lain. Letaknya hanya bertaut
satu jalan dari rumah angker itu. Alhamdulillah, di rumah baru kami
tidak ada kejadian-kejadian ganjil lagi. Sementara rumah angker bekas
kontrakan kami dulu, sekarang dikontrak orang lain.
Namun kami prihatin karena kabarnya orang yang mengontraknya sering diganggu kejadian-kejadian gaib seperti kami dulu.
Bahkan kini tetangga di depan rumah angker itu juga ikut terkena dampaknya. Mereka sering mendengar suara jeritan
wanita, raungan harimau dan suara denting lonceng. Kadang juga muncul
bayangan hitam yang sangat besar, makhluk berwajah putih rata,
anak-anak kecil berpakaian lusuh seperti pengemis dan lain-lain. Semua
itu sudah pernah kami lalui. Andai saja prinsip keluarga kami
diterapkan, pastilah orang yang mengontrak rumah angker itu, dan juga
tetangganya, tidak akan diganggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar